Di ruang biru

Andini Dwiyanti
3 min readMar 26, 2021

--

Cr: Pinterest

Selamat sore…

— adalah sebuah kata yang bisa saya tuliskan sebagai sapaan pembuka di tulisan ini. Sebenarnya saya bisa memilih berbagai pilihan kata, penempatan waktu atau mungkin jenis bahasa. Tapi kali ini, saya akan memilih selamat sore sebagai pilihan kata yang akan saya sebarkan ke mata-mata para pengunjung tulisan ini.

Terlihat lambat dan terdengar membosankan — begitu yang saya pikirkan saat membaca ulang semua kalimat awal itu. Semua orang juga pasti akan bosan dengan berbagai macam kata-kata yang saya ulang ini, berbagai macam kata-kata yang tidak menunjukan poinnya dan berbagai macam kata-kata yang sangat hambar.

Entah bosan atau ingin berlari lebih cepat pada sebuah inti — kita selalu diciptakan seperti itu. Pada akhirnya, kita semua selalu merasa bosan dan merasa terburu-buru, kita melewatkan basa-basi dan terus berlari seolah ada seseorang yang akan menusuk dari belakang bila kita berhenti.

Sejujurnya saya tidak tau tulisan ini akan bermuara sampai mana, dan bagaimana saya harus memberi sentra yang baik agar tulisan ini dapat dipahami. Tapi saya akan mulai tulisan ini dengan mengatakan perasaan saya belakangan ini dimana dunia terasa sangat cepat dan waktu sedang memainkan permainan kejar-kejaran seolah revolusi bumi akan berhenti bila saya berkata lelah.

Belakangan ini saya terus berlari dan berlari tanpa membiarkan nafas saya menemukan rehat. Saya meninggalkan kasur-kasur empuk dan menemui nafas-nafas pagi dengan mata kantuk untuk sekedar mengejar ke-tidak-adaan. Saya mengejar ketidaktahuan masa depan yang saya harap saya bisa memberikan sedikit cahaya pada ketidaktahuan itu.

Tapi beberapa waktu lalu, saya mendengar sebuah pertanyaan yang semakin saya pertanyakan. Pertanyaan dari seorang anak yang masih belajar menghitung perjumlahan dan bahkan belum bisa membaca huruf dengan baik. Dia bertanya —

— “Ibu engga capek?”

Saat itu saya sedang bertatap muka dengan 5 orang anak yang masih saya ajarkan cara menghitung dengan jari. Dengan keadaan terdesak di ruangan sempit penuh dengan gumam dan decak saya hanya melepaskan pertanyaan “Kamu sudah selesai?”

Entah kenapa saat itu saya merasa sangat — tidak mampu — saya merasa pertanyaan itu begitu sulit untuk saya jawab saat itu juga. Mungkin seperti saat saya ditanya oleh dosen saya dan saya tidak memperhatikan materi yang beliau jelaskan.

Saat berjalan pulang saya mulai sadar, bahwa dari sekian banyak teman dan lingkungan dialog. Saya baru sadar bahwa basa-basi apakah saya lelah atau tidak hampir tidak pernah ada eksistensinya. Entah kita semua yang berjalan terlalu cepat dan tidak peduli pada perasaan sekitar atau kita semua yang sudah terlalu lelah dan sudah tidak mempedulikan pertanyaan perihal “lelah”

Mendengar pertanyaan itu saya langsung berfikir “apa saya lelah?”

Jawaban paling rasional dari pertanyaan itu tentu saja saya lelah. Dihantam berbagai macam tuntutat pekerjaan, dipukul berbagai macam tugas dan keadaan dan dilecehkan berbagai macam kesalahan dari setiap keputusan.

Tentu saya lelah…

Tapi saat itu kenapa saya tidak langsung berkata lelah dihadapan pertanyaan itu? apa saya tidak mau menceritakan keluhan saya dihadapan pertanyaan anak itu? kenapa saya berusaha menutupi perasaan saya? dan kenapa saya merasa itu adalah pertanyaan yang sulit dijawab?

Lalu akhirnya saya sadar…. alasan saya tidak mudah menjawab pertanyaan itu karena sebelumnya tidak ada yang pernah bertanya tentang perasaan saya. Apakah saya lelah? apakah saya kesulitan? apakah saya sedih? apakah saya baik-baik saja?

Semua pertanyaan itu sudah ditelan oleh kecepatan dunia. Kecepatan manusia dalam mengejar segalanya. Basa-basi sudah basi dan tidak ada lagi. Kita kehilangan perasaan dan tidak pernah mempertanyakan perasaan. Kita terlalu malas untuk peduli dan terlalu lelah untuk bertanya.

Kita hanya terus berlari dan terus berlari.

Saya terlalu cepat….

Kamu terlalu cepat…

Kita terlalu cepat…

Dan… di ruang biru ini saya menyampaikan segalanya…saya melepaskan segalanya…saya meluapkan segalanya… dan saya mengingatkan segala yang bisa saya ingatkan.

Bahwa berlari bukan hanya tentang mencapai garis finish, tapi berlari juga tentang meninggalkan segalanya dibelakang. Meninggalkan basa-basi, meninggalkan kepedulian, meninggalkan perasaan diri sendiri…

Saya berharap kamu bisa berhenti dan sedikit bertanyanya pada orang lain atau pada diri sendiri

Apakah kamu lelah? —

--

--

No responses yet